Lonceng berdentang dari kejauhan
Aku berdiri di persimpangan
Tangan kecil menepuk pundakku, aku menoleh
Dia sahabatku, kami berumur tiga
"Aku melihatmu lebih dulu", kataku. "Tapi kau tak melihatku".
"Aku melihatmu sekarang", katanya.
Dia menggenggam tanganku. "Ayo!" ajaknya berjalan cepat-cepat.
Udara dingin sekali

Aku berdiri di persimpangan
Tangan kecil menepuk pundakku, aku menoleh
Dia sahabatku, kami berumur tiga
"Aku melihatmu lebih dulu", kataku. "Tapi kau tak melihatku".
"Aku melihatmu sekarang", katanya.
Dia menggenggam tanganku. "Ayo!" ajaknya berjalan cepat-cepat.
Udara dingin sekali

Kami tiba di depan toko gula-gula
Toko terlihat ramai, banyak orang dewasa
Mereka terlihat sibuk mengisi keranjangnya
Kami melihat ke arah gula-gula yang sama, gula-gula merah warnanya
Gula-gula merah, kami menyebutnya

Gula-gula digantung tinggi sekali
Setinggi pinggang orang dewasa
Kami berpandangan sebagai pertanda
Dia berusaha meraihnya. Hup! Tidak bisa.
Giliranku mencoba. Hup! Tidak kena.
Dia mencoba lagi. Aku mencoba juga.
Gilirannya, giliranku.
Dia. Aku. Dia. Aku.
Kami mulai lelah, nafas mulai terengah.
Dengan nafas setengah-setengah,
"Aku punya gula-gula warna coklat di rumah", ujarnya.
"Aku tau", kataku
"Tapi gula-gula ini begitu menggoda. Aku ingin memakannya bersamamu", katanya.
"Aku juga", jawabku.
Kami menengadah, melihat si gula-gula.
Merahnya menyala, menggugah rasa.
Tiba-tiba, hup! satu tangan meraihnya.
Tangan seorang kakek dengan jaket biru tua
Kakek berjalan menjauh perlahan, langkahnya pelan-pelan
Kami berdiri berpandangan
Lonceng kembali berdentang
Hari mulai gelap, waktunya untuk pulang
"Aku punya gula-gula coklat di rumah", katanya.
"Aku tau", jawabku.
No comments:
Post a Comment